Kehidupan remaja di Indonesia saat ini memang menjadi fenomena tersendiri. Banyak kegiatan yang dilakukan para remaja seperti menjadi budaya tersendiri yang mungkin tidak semua pihak mengerti. Kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia sepertinya menjadi faktor nomor satu yang mempengaruhi kehidupan remaja sekarang. Coba kita lihat kehidupan remaja sekarang, sekilas terkesan glamor yang cenderung konsumtif. Kebiasaan ini mungkin terjadi karena alasan “sedang tren”, “biar dibilang gaul” dsb. Kelompok konsumen yang kebanyakan saat ini adalah remaja, atas dasar asumsi bahwa kelompok remaja banyak menaruh perhatian terhadap kegiatan periklanan. Satu iklan komersil bisa menjadi suatu tren tersendiri bagi kalangan mereka. Dalam kesempatan inilah penulis mencoba mengungkapkan beberapa trend remaja yang cenderung negative.
Perilaku Konsumtif Dalam kehidupan sehari-hari menjadi kebiasaan kaum remaja untuk bepergian ke supermarket, departement store dan plasa, sehingga pola hidup remaja mengarah pada pola kehidupan konsumtif. Pengunjung di tempat perbelanjaan tersebut sebagian besar kaum muda. Pola hidup konsumtif tidak mendidik manusia mandiri namun menjadikan sikap hidup pasif dan selalu tergantung pada orang lain. Hal ini dapat dilihat dari pembelian suatu produk oleh konsumen yang bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan semata tetapi juga keinginan untuk meniru orang lain yaitu sekedar untuk menjaga gengsi agar tidak ketinggalan jaman. Konsumen cenderung mengambil keputusan membeli yang didasarkan pada emosi semata.
Perilaku konsumtif lainnya yang nampak adalah ketika mereka membutuhkan sesuatu mereka umumnya tidak melakukan survey terlebih dahulu. Alasan mereka adalah agar mereka tidak terlalu lama-lama dalam memilih barang yang cocok dan sesuai dengan pilihan dan selera mereka. Kemudian dari hasil/tingkat kepuasan terhadap produk yang dibeli, mereka akan terus memakai dari barang atau produk yang akan dibelinya tersebut dengan pertimbangan bahwa jika memang benar-benar barang tersebut adalah barang dibutuhkannya sekali.
Gejala konsumtif yang terbawa oleh berhasilnya pembangunan juga menghasilkan kesenjangan antara bertambahnya barang konsumsi dalam segala bentuk atau bertambah luasnya persepsi tentang kebutuhan dan daya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebiasaan dan gaya hidup juga berubah dalam waktu yang relatif singkat menuju ke arah yang kian mewah dan berlebih-lebihan. Pola konsumsi seperti ini terjadi pada hampir semua lapisan masyarakat, meskipun dengan kadar yang berbeda-beda, hampir tidak ada golongan yang luput dari hal tersebut. Gejala konsumtifisme seperti ini tidak sulit dibuktikan dan dapat dilihat oleh orang-orang di sekelilingnya sendiri. Suatu ilustrasi yang sering nampak adalah kehidupan keluarga para pejabat tinggi dan pengusaha, seperti memiliki mobil-mobil mahal, rumah mewah, belanja ke luar negeri dan sebagainya. Demikian pula dengan kehidupan remaja yang juga telah mengalami perubahan pola konsumsi hidup, misalnya keluarga pegawai negeri biasa yang selalu mempergunakan pakaian dengan merk-merk mahal, peralatan kosmetik yang terkenal dan sebagainya
Perilaku konsumtif merupakan wujud dari ekspresi dari perilaku eksperimental yang dimiliki oleh remaja untuk mencoba suatu hal yang baru. Perilaku eksperimental tersebut masih dipandang wajar apabila tidak memunculkan pola perilaku yang lebih dominan pada kesenangan hidup dari pada kegiatan belajar. Derasnya arus konsumtifisme ini telah melanda sebagian besar masyarakat, termasuk juga pada kalangan remaja. Bagi kebanyakan remaja, memungut gaya hidup seperti ini merupakan cara yang paling cepat untuk dapat ikut ke dalam kehidupan kelompok sosial yang diidamkan. Keremajaan memang menarik, tetapi yang paling utama sebenarnya bukan unsur yang terkandung dalam keremajaan itu, melainkan potensi golongan remaja sebagai pembeli. Menjadikan diri mereka sebagai pelaku, atau masalah mereka sebagai fokus, dengan sendirinya akan menggambarkan pemasaran suatu produk.
Sifat remaja atau kelompok muda yang biasanya selalu ingin berbeda, mengikuti mode sehingga perilaku remaja dalam membelanjakan uangnya digunakan untuk mengkonsumsi barang barang yang mendukung penampilannya. Banyak kalangan remaja yang menganggap kebutuhan seperti pakaian, sepatu, tas, kosmetik, aksesoris, HP, dan barang lainnya yang bermerk dan mempunyai gengsi tinggi ditempatkan sebagai kebutuhan pokok dan penting sehingga mereka cenderung membelanjakan uang untuk membeli barang-barang tersebut. Banyak orang membeli barang tertentu hanya demi social prestige atau hanya sekedar gengsi untuk mendapatkan status dalam lingkungan pergaulannya. Perilaku yang hanya mengutamakan kesenangan tersebut dapat menyebabkan seseorang kurang kontrol terhadap apa yang dilakukannya sehingga cenderung berperilaku konsumtif.
Harga diri yang dimiliki remaja akan mempengaruhi perilakunya dalam hubungan sosial dengan individu lain. Harga diri tinggi akan berpengaruh pada perilaku positif. Sebaliknya harga diri rendah akan membawa pengaruh yang kurang baik bagi perilaku individu. Kita ambil contoh, dengan pesatnya perkembangan teknologi saat ini banyak terdapat gadget dan barang-barang elektronik super canggih yang berada di pasaran. Handphone adalah contoh yang bisa kita lihat. Padahal tidak semua fitur dalam handphone kita ketahui dan gunakan sesuai fungsinya. Namun demi gengsi untuk mendapatkan status dalam pergaulan sepertinya para remaja rela membeli dan mengganti apabila ada yang lebih terbaru meskipun harganya selangit. Nah, untuk membelinya juga sepertinya tidak murni dari hasil sendiri. Kebanyakan dari mereka meminta kepada orangtua nya, jika tidak diperbolehkan mereka terus merengek sampai akhirnya hati orangtuanya luluh. Bagi para orang tua, diharapkan sebagai masukan berupa informasi mengenai hubungan antara harga diri dengan perilaku konsumtif, dengan demikian orangtua diharapkan mampu member pembelajaran bagai putra-putrinya agar mampu mengendalikan diri dan lebih selektif dalam membeli suatu barang, sehingga terbentuk pola pola hidup hemat dan tidak cepat terpengaruh oleh bujuk rayu iklan.
Kehidupan Glamor
Remaja sekarang sepertinya identik dengan kehidupannya yang glamor. Yah seperti yang sudah dibahas diatas, demi mendapatkan status didalam pergaulannya mau tidak mau mereka harus mengikuti trend yang ada. Gaya hidup serba mewah, serba enak dan serba berkecukupan yang dianut para remaja sesungguhnya karena „diajarkan‟ oleh orang-orang dewasa disekitar mereka. Karakter dari remaja adalah mudah meniru gaya dari significant others. Selain itu, juga dipicu oleh program-program yang ditayangkan oleh televisi. Kehidupan ala sinetron yang kerap menampilkan hidup mewah dan cara instan telah menjadi „agama baru‟ bagi remaja. Siapa pun yang „kafir‟ dengan gaya hidup ala sinetron ini akan mendapat stigmatisasi „tidak gaul dan tidak funky‟. Sebuah stigma yang amat memalukan bagi mereka, karena itu sedapat mungkin harus dihindari. Kebutuhan hidup yang tercipta akibat keinginan mengejar „syahwat‟ kenikmatan duniawi, berpadu dengan budaya instant, menyebabkan para remaja seringkali menjerumuskan diri ke dalam perilaku sesat.
Keinginan untuk memenuhi barang-barang mewah mungkin bukan terlalu menjadi masalah bagi anak-anak orang kaya. Orangtua sanggup memenuhi sebagian besar keinginan mereka. Tapi, bagaimana dengan remaja dari keluarga pas-pasan ? Ketika keinginan memiliki hand phone atau pakaian type termutakhir, sementara anggaran dari orangtua tidak ada, maka remaja dari keluarga kurang mampu biasanya mengambil jalan pintas. Tidaklah mengherankan, jika saat ini muncul fenomena baru yang muncul di sekitar kehidupan kampus. Para mahasiswi atau pelajar putri mengambil profesi sebagai „ayam kampus‟ dan yang laki-laki berprofesi sebagai pengedar narkoba. Profesi ini menjadi pilihan karena tidak memerlukan keahlian dan ketrampilan tertentu. Siapapun dapat melakukannya, asalkan tidak memikirkan segala resiko dari profesi tersebut. Selain itu, dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain yang bisa mereka lakukan, profesi menjadi „ayam kampus‟ dan pengedar narkoba memungkinkan mereka mendaptkan penghasilan yang jauh lebih menjanjikan. Bagi yang telah „mengimani‟ budaya instant, cara ini dipandang paling logis. Sebaiknya remaja jangan terlalu mengikuti kehidupan yang serba wah. Kita juga harus melihat keadaan lingkungan sekitar kita. Agar kita tidak terjerumus dalam pergaulan bebas sebaiknya kita juga memilih teman yang baik agar tidak menjerumuskan kita ke hal-hal yang negatif. Itu semua tergantung dari diri remaja masing-masing.
Pergaulan Bebas
Semakin tingginya frekuensi arus globalisasi di era industrialisasi yang sudah mengglobal serta arus modernisasi dan sekularisasi sangat berpengaruh besar terhadap pergaulan bebas dengan lain jenis (kumpul kebo), baik di perkotaan maupun di pedesaan. Kondisi semacam ini juga sangat mempengaruhi terhadap ideologi masyarakat, sehingga ada sebagian mereka beranggapan, kalau tidak bergaul dengan selain jenis maka di nilai ketinggalan zaman. Inilah salah satu dampak arus globalisasi. Oleh karena itu, dalam kondisi semacam ini manusia di tuntut untuk lebih berhati-hati dalam bertindak. Kalau kita lacak secara fenominal bahwa pergaulan di masa sekarang- di berbgai tempat-khususnya di perkotaan- seakan-akan sudah menjadi bagian kultur yang di akui keberadaannya dan tidak bisa di hindari lagi, bahkan di anggap hal yang biasa-bisa oleh kalangan remaja.
Padahal kalau di lihat di lapangan, pergaulan ini sangat meresahkan masyarakat, bahkan kalau kalangan remaja terus di biasakan hal semacam ini tanpa ada kesadaran dan pendidikan yang berorientasikan pada moral maka bagaimana dengan bangsa yang akan datang. Sangat tragis, ternyata pergaulan bebas itu tidak hanya sebatas bergaul melainkan terkadang mendorong untuk melakukan hal yang lebih tidak di sukai oleh agama, seperti, bercumbu rayu, berciuman dan bahkan terjebak dalam perzinahan. Oleh karena itu, tanpa ada sekat-sekat pembatasan antara wanita dan laki-laki yang bukan muhrim maka dampak dan bahayanya seperti itu. Kalau dalam ajaran islam, pergaulan bebas itu tidak di perbolehkan, bahkan melihat wanita yang bukan muhrim tanpa ada maksud-maksud yang di perbolehkan juga tidak boleh. Semisal saling melihat dan lainnya. Karena hal itu merupakan awal untuk melangkah pada garis selanjutnya seperti janjian dsb. Islam membolehkan bergaul dengan wanita yang bukan muhrimnya apabila ada alasan yang tepat menurut syariat, seperti ingin mengawini, karena sebelumnya di anjurkan melihat si wanita itu, cocok tidaknya.
Di masa sekarang, di Barat, khususnya di Eropa, pergaulan bebas sangatlah dominan bahkan homo dan lesbian sudah menjadi bagian kultur mereka. Ini tidak asing lagi di mata mereka, tapi ini sangat meresahkan masyarakat di sana sebab kasus aborsi di sana makin hari makin meningkat. Ini adalah gambaran dari pengaruh dan bahaya pergaulan bebas.
Gaul menurut dimensi remaja-remaja yang katanya modern itu adalah ikut dalam trend, mode, dan hal lain yang behubungan dengan keglamoran hidup. Harus masuk kedalam geng-geng, sering nongol dan konkow-konkow diberbagai tempat seperti mall, tempat wisata, game center dan lain-lain. Yang mana pada akhirnya, gaul dimensi remaja akan menimbulkan budaya konsumtif. Yang patut disayangkan pula dari “gaul” kebanyakan remaja saat ini adalah standar nilainya diambil dari tradisi budaya ataupun cara hidup masyarakat nonmuslim. Cotoh, baju yang dipakai itu modelnya harus sesuai dengan mode-mode yang berkembang di dunia internasional saat ini. Dan bisa kita lihat pakaian-pakaian tersebut jarang sekali ada yang cocok dengan kriteria pakaian yang pantas secara islam.
Solidaritas dan kesetiakawanan sering dijadikan landasan untuk terjun kedunia hura-hura. Dengan “setia kawan” itu pula kebanyakan remaja mulai merokok, minum minuman keras, mengonsumsi narkoba, dan bahkan sex bebas. Kalau tidak ikut kegiatan-kegiatan geng ataupun teman nongkrong bisa dianggap tidak “setia kawan”. Paradigma seperti itulah yang menggerayangi pikiran sebagian remaja masa kini. Sebenarnya dengan tindakan itu mereka telah merusak kemurnian makna dari solidaritas dan kesetiakawanan itu sendiri. Jika ditinjau lebih dalam “gaul” tidak akan menimbulkan banyak dampak negatif jika standar nilai yang dipakai untuk mendefinisikan gaul itu, standar nilai yang sesuai dengan syariat islam dan juga budaya timur yang penuh dengan tata karma dan kesopanan. Hanya saja, merubah sesuatu yang sudah mendarah daging disebagian remaja saat ini tidaklah mudah. Semua itu memerlukan sinergi dari semua pihak, baik orang tua, keluarga, pemuka masyarakat, pemerintah, dan yang tak kalah pentingnya adalah peran kita sendiri sebagai remaja yang akan menjalani kehidupan dalam bingkai kata “gaul” itu sendiri.
Bahasa Tersendiri
Saat ini banyak sekali remaja yang menciptakan bahasa gaul, yaitu bahasa baku yang dipelesetkan, sehingga terkadang orang dewasa tidak memahami bahasa apa yang dikatakan oleh para remaja tersebut. Gaul, dong! Pede aja lagi! Kasihan deh, lo! Nyantai aja, Coy! Begitulah antara lain “bahasa gaul” yang seringkali kita dengar di kalangan remaja kini.
"Bahasa gaul” itu seakan telah menjadi bahasa resmi mereka. Bahkan bila dalam pergaulan mereka ada diantaranya yang menggunakan bahasa Indonesia – katakanlah – yang baku, penggunaan bahasa tersebut seolah terdengar aneh dan dianggap norak dalam komunitasnya. Nggak salah, sih, apabila para remaja menggunakan “bahasa gaul”. Sedangkan dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, tentu Pusat Pembinaan Bahasa yang lebih berkompeten mengurusnya, Yang jelas-jelas salah adalah, jika “bahasa gaul” yang digunakan bersinggungan dengan nilai-nilai moral dan agama. Namun nyatannya, disadari atau tidak, justru hal itu yang sering terjadi. Dengan kata lain, banyak penggunaan “bahasa gaul” yang makna aplikatifnya cenderung tidak dibatasi oleh nilai-nilai atau norma-norma tadi. Sebagai remaja yang memiliki kemampuan berpikir, tentu kita tidak mau dong termasuk orang yang “asbun” alias “asal bunyi” dalam bicara. Nah karena itu, sebaiknya kita meninjau kembali apakah “bahasa gaul” yang setiap hah kita gunakan itu sudah sesuai tidak konteksnya dengan nilai-nilai kesopanan dan moral. Biar nggak asal bunyi. Bahasa yang digunakan seseorang mencerminkan pribadinya. Silakan saja menggunakan “bahasa gaul” sebagai cerminan bahwa kita memang remaja yang senang bergaul. Namun hati-hati, jangan karena kita merasa bangga jadi “anak gaul” tetapi “bahasa gaul” yang kita gunakan tidak tepat konteksnya atau bertentangan dengan nilai-nilai kesopanan dan moral. Sebab jika demikian bisa-bisa kita justru disebut “anak yang salah gaul”.
Anarkisme
Anarkisme di kalangan remaja sudah menjadi menu utama bagi para penegak hukum pada umumnya. Betapa tidak, dari berbagai kasus yang terjadi seperti tawuran, narkotika, dan anarkisme lainnya, mayoritas remaja menjadi pemeran utamanya. Dari berbagai kasus yang terjadi tentunya yang harus bertanggung jawab adalah para orang tua. Karena Orang tua merupakan aktor utama terhadap pengembangan sifat, sikap, dan prilaku remaja, sehingga apabila orang tua berperan aktif, maka anarkisme di kalangan remaja dapat diminimalkan. Tindakan anarkisme tersebut biasanya merupakan implementasi terhadap keinginan-keinginan remaja yang tidak tercapai dan tidak terpenuhi, seperti tidak lulus dalam Ujian Akhir Nasioanl (UAN), ditinggal pacar; atau juga karena faktor lingkungan keluarga dan sekitarnya, seperti broken home.
Satu faktor yang mungkin membingungkan adalah faktor ikut-ikutan atau coba-coba. Tindak anarkis yang dilakukan remaja ini sungguh sangat mengkhawatirkan. Tawuran antar sekolah, supporter olahraga, gank seperti menjadi menjadi kebiasaan bagi remaja. Padahal banyak kerugian yang jelas-jelas terlihat dari tindakan anarkis mereka baik itu kerugian fisik maupun materi. Hukuman yang diberikan pun sepertinya belum bisa membuat mereka jera sehingga terus menerus melakukannya. Lucunya lagi, setelah tertangkap pelakunya mereka menangis dan merengek-rengek meminta ampun. Kemana hilangnya sifat jagoan ketika sedang melakukan tindakan anarkis??
Mungkin hanya itu yang dapat penulis sampaikan. Yah, sebenarnya penulis juga masih melakukan tindakan-tindakan diatas, maklumlah penulis juga masih remaja hehe :D. Mungkin inilah yang disebut sebagai tahap peralihan menuju kedewasaan dimana segala tindakan dan pemikiran masih labil dan selalu merasa ingin tahu akan segala hal. Bimbingan orang dewasa rasanya perlu diberikan agar para remaja tidak terjerumus kedalam hal-hal yang negatif. Karena kalau generasi muda sudah hancur siapakah yang akan memimpin bangsa ini kelak.
No comments:
Post a Comment