Pages

Tuesday, January 4, 2011

Hubungan PSSI dengan Kegagalan Timnas Indonesia

garuda di dadaku, garuda kebanggaanku, kuyakin hari ini pasti menang …”. Dalam sebulan terakhir ini, lagu “Garuda di Dadaku” terasa akrab di telinga kita. Ada apa gerangan? Apalagi kalau bukan karena gemilangnya penampilan Tim Nasional Indonesia dalam kejuaraan Suzuki AFF Cup 2010. Permainan atraktif tim asuhan pelatih asal Austria Alfred Riedl membuat semua supporter di seluruh Indonesia menyatu. Mereka rela berangkat dari daerahnya hanya untuk satu tujuan, yaitu mendukung tim Merah Putih berlaga. Bisa kita lihat bagaimana fanatiknya supporter Indonesia. Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) selalu penuh sesak ketika Indonesia bertanding, baju berwarna Merah Putih ditambah atribut lainnya semacam bendera, syal dan sebagainya seakan menjadi dress code resmi para supporter yang pergi ke stadion.

            Namun apa daya, Tim Nasional kesayangan kita harus mengakui keperkasaan Tim Harimau Malaya, Malaysia di laga final. Berbekal kemenangan 5-1 di babak penyisihan grup, membuat semua kalangan optimis Tim Garuda akan mudah mengalahkan Malaysia dan menjadi juara piala AFF untuk pertama kalinya. Yap, apapun bisa terjadi dalam sepakbola, Malaysia bisa memutar balikkan fakta dengan mengalahkan Indonesia dengan skor aggregat 4-2 untuk Malaysia. Bermain di hadapan pendukungnya sendiri di Stadion Bukit Jalil, Harimau Malaya menerkam Garuda dengan skor 3-0. Sebaliknya meski menang di GBK, timnas Indonesia gagal juara karena hanya menang 2-1. Terlepas dari kecurangan yang dilakukan supporter Malaysia (menggunakan laser dan petasan) dengan permainan yang kolektif mereka dapat mengalahkan Timnas kesayangan kita.


             Jika melihat supporter dalam kurun waktu beberapa tahun kebelakang, kegagalan Timnas dilampiaskan dengan aksi-aksi anarkis. Namun tahun ini berbeda, saya melihat supporter Indonesia sekarang sudah lebih dewasa. Tidak ada lagi aksi anarkis yang dilakukan supporter, bahkan ketika supporter Malaysia berbuat curang supporter kita tidak ikut-ikutan berbuat curang. Bagaimanakah hubungan PSSI sebagai asosiasi sepakbola kita dengan kegagalan ini? Bisa dilihat dengan mata kepala kita bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia (supporter umumnya) sudah tidak percaya lagi dengan PSSI. Mereka percaya bahwa pengurus PSSI yang sekarang tidak mampu mengarahkan sepak bola kita ke tingkat yang lebih baik. Terbukti dengan minimnya prestasi sepakbola kita dalam beberapa tahun ini. 

            Selain itu, PSSI jelas mempersulit supporter yang ingin menonton langsung di stadion. Contoh yang paling konkret adalah pendistribusian tiket, panitia LOC kelihatan tidak siap dalam pendistribusian tiket. Jelas kekecewaan dirasakan para supporter yang sudah mengantre, akhirnya terjadilah tindakan anarkis yang dilakukan oleh supporter sebagai bentuk kekecewaan. Satu lagi contoh, harga tiket dari pertandingan penyisihan sampai semifinal selalu naik. Bayangkan saja, tiket termahal untuk pertandingan final saja mencapai Rp. 1.000.000 untuk kelas VVIP dan tiket termurah sebesar Rp. 50.000 (sebelumnya malah Rp. 75.000). Walaupun begitu, tetap saja supporter rela mengantre untuk bisa menyaksikan laga Timnas kesayangannya.

            Bukti ketidakmampuan PSSI dalam mengkoordinir sepakbola kita juga dapat dilihat dengan adanya kompetisi sepakbola diluar persetujuan asosiasi, yaitu Liga Premier Indonesia (LPI). Adanya LPI membuktikan bahwa adanya ketidak percayaan terhadap PSSI. Meski sudah mendapat peringatan dari PSSI namun LPI akan tetap berjalan. Tiga dari kontestan ISL (Indonesian Super League) telah menyebrang ke LPI. Bagaimanakah jadinya  nasib persepakbolaan kita dimasa mendatang? Solusi terbaiknya kita harus melakukan revolusi didalam tubuh PSSI, siapa tahu dengan adanya perubahan dalam struktur kepengurusan PSSI bisa menghadirkan prestasi untuk sepakbola kita. Semoga sepakbola kita menjadi yang terbaik.

No comments:

Post a Comment